Rabu, 20 Maret 2013

Serunting Sakti


Perfilman Peluang dan Kreativitas
Film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi. Begitulah terdapat pada huruf b menimbang UU No. 33 tahun 2009.
Perfilman merupakan salah satu sektor ekonomi kreatif. Sektor yang menekankan kepada pemahaman insan perfilman dalam berkreasi sehingga dapat diteruskan wujud kreatifitasnya.
Dalam Bab III undang-undang yang sama Kegiatan Perfilman dan Usaha Perfilman pada pasal 5, yaitu kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Bagaimana dengan Perfilman Sumsel

Terdapat 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dalam Lampiran III Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025. Pada nomor 34 dari daftar tertulis “KSPN. Palembang Kota dan sekitarnya (Sungai Musi)”
 Dan pada lampiran di UU No. 50 tahun 2011 di atas pada Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di lampiran IV No. Urut 15, yaitu Palembang Babel dan sekitarnya yang mana meliputi Indikasi Program Pembangunan Kepariwisataan Nasional : Bagian – A ; Indikasi Program Pembangunan Destinasi Pariwisata; Bagian – B: Indikasi Program Pembangunan Pemasaran Pariwisata; Bagian – C : Indikasi Program Pembangunan Industri Pariwisata; Bagian – D : Indikasi Program Pembangunan Kelembagaan Pariwisata

Adalah penting diketahui sebagai peluang terbaru atau boleh jadi terlupa bagi kita. Satu film Indonesia bercerita tentang Sumsel bahkan menyentuh pantai Matras, Sungailiat Kab. Bangka Induk, Prov. Babel adalah film “Sumpah Si Pahit Lidah”.
Film tahun 1989 dengan Produser Leonita Sutopo dan sutradara Dasri Yacob dengan durasi 1.30.07 (satu jam setengah) merupakan bentuk kreasi di mana masih tersimpan di dalam memori tiap-tiap orang wilayah Sumsel khususnya (di masa kecilnya) pada bioskop tersedia di wilayahnya.
Dasri Yacob sendiri merupakan sutradara film laga yang memang betul betul produktif di zamannya. Bayangkan saja untuk tahun 1989 Dasri Yacob selain menyutradarai film Sumpah Si Pahit Lidah, dia juga menjadi sutradara pada film Pendekar Tapak Sakti , Warisan Ilmu Karang , dan Seruling Naga Sakti, itu untuk tahun 1989 saja. Sedangkan untuk tahun sebelumnya, dia telah menunjukkan prestasi yang kredibel dengan menghasilkan 30 film dan 8 film pada tahun setelah itu, tahun 1990. Termasuk  Putri Kembang Dadar,  Ilmu Cambuk Api,  Suromenggolo, Bujangan Jelihin, dan Si Pandir.
Film yang terbit di tahun 1989 ini merupakan satu karya film dengan melibatkan anak-anak SD sebagai penonton. Jumlah penduduk pada tahun 1980 - 1990 adalah 4.629.801- 6.313.074. Termasuklah saya ikut dalam rombongan murid SD membawa karcis film di tangan guna menikmati pemutaran film Sumpah Si Pahit Lidah di bioskop Surja Pangkalpinang.
Mengenai data pasti berapa jumlah penonton belum dipastikan berapa, namun dapat diprediksikan sederhana dari: jumlah siswa yang menonton; bioskop yang menyediakan tontonan waktu itu; serta mobilitas dari jadwal tayang film.
Sepertinya nonton bareng tersebut hanya berlaku di wilayah Sumsel termasuk Daerah Tingkat II kotamadya Pangkalpinang, ibukota Provinsi Bangka Belitung sekarang. Ketika ku tanya ke orang-orang tidak berada pada wilayah Sumsel pada waktu itu, pada tahun 1989, mereka menjawab “tidak tahu” mengenai penayangan nonton bareng film Sumpah Si Pahit Lidah. Kalau sekarang tentu sangatlah mudah didapati di internet.  

Sebagian Amanat Serunting

Tersebut telah berlalu, menyisakan memori pada masing-masing, betapa suasana hati pada waktu kecil dahulu menyisakan kenangan tersendiri. Mengesankan tentunya!
Sinopsis film Si Pahit Lidah adalah kisah seorang pemuda bernama Serunting/Si Pahit Lidah diperankan oleh Advent Bangun yang mempunyai kesaktian dapat menyumpahi orang menjadi batu.
Ada dua kejadian menarik berkenaan dengan menjadi batu-nya seseorang. Pertama, ketika Serunting melerai dua orang laki-laki yang bertarung pasal utang piutang. 



Lelaki yang berhutang tidak membayar utang dikarenakan belum dapat membayar. Dan dia membela diri ketika diserang oleh Si pemberi hutang. Lelaki yang berhutang tersebut kalah, pada saat lelaki berhutang tersebut berada pada posisi tak berdaya hendak dibunuh oleh Si pemberi hutang, ketika itu datanglah Serunting menyelamatkannya.

Serunting selain menyelamatkan lelaki yang kalah juga memilah masalah penyebab perkelahian dua lelaki ini.
Lelaki yang berhutang berkata: “Dia merampas harta milik saya. Kerbau saya diambil. Sekarang tanah saya juga.
Lelaki pemberi utang : ”Kamu punya utang.” “Dia punya utang (menunjuk ke lelaki tersebut di hadapan Serunting)”
Lelaki berhutang : “Utang saya tidak seberapa. Saya berjanji akan melunasinya”
Lelaki pemberi hutang :”Ah, kamu bicara melulu (marah dengan parang terhunus. Serunting di antara mereka berdua)
Si Pahit Lidah :”Sabar, sabar (menenangkan keduanya yang hendak. Lelaki pemberi hutang masih dengan parang terhunus)
Lalu Serunting bertanya ke lelaki yang berhutang,” Apakah kamu merasa harta yang dirampas (lelaki pemberi hutang) itu telah cukup untuk membayar seluruh hutang kamu?”
Lelaki berhutang: “Itu lebih dari sekedar cukup”
Serunting kemudian bertanya ke lelaki pemberi hutang, “Nah, kenapa kamu masih ingin merampas semua?”
Si pemberi hutang meneriakkan kalimat “peduli setan” lalu menebaskan parangnya ke arah Serunting dan lelaki berhutang. Serunting menangkis sigap lalu berusaha menjelaskan kepada si pemberi hutang bahwa sesungguhnya dia juga mempunyai hutang, yaitu nafas yang ia hirup; nafas yang membuat hidup. Itu adalah utang yang paling besar dari yang Maha Kuasa dan harus dibayar dengan kebajikan tetapi ternyata (dibalas) serakah begitu Serunting menjelaskan ke pemberi hutang.
Namun, kemarahan telah menyelimuti si pemberi hutang, seluruh penjelasan Serunting ditampiknya bahkan terus menyerang dengan parang terhunus. Lelaki itu menyerang Serunting dan itu bukan lawan sepadan bagi Serunting Sakti (Si Pahit Lidah). Dengan mudah Serunting menjatuhkan si pemberi hutang.
Sebelum menyumpahi si lelaki itu, Serunting bergumam, “Kamu lebih mementingkan harta daripada kebaikan sesama manusia. Kamu berhak mendapat ganjaran setimpal. Jadilah batu selamanya.
Kedua, ketika Serunting mendapati dua kelompok pemuda bertarung pasal batas desa masing-masing. Serunting juga berhasil melerai dan menyumpah provokator (penghasut) dalam sengketa tersebut menjadi batu. Seorang pemuda memberitahukan Serunting bahwa Rie Tabing, murid Si Mata Empat lah yang telah menghasut sehingga timbul perkelahian antar pemuda dua desa. Sengketa antar dua desa inilah yang mengahantarkan pertemuan antara Serunting dan Rie Tabing serta Si Mata Empat.
Rie Tabing diperankan oleh Arthur Tobing. Dia adalah murid Si Mata Empat yang terobsesi membalaskan dendam ke Pahit Lidah karena istrinya disumpahi menjadi batu. Namun, Si Mata Empat membela Serunting dengan argumennya bahwa, Si Pahit Lidah disebabkan Rie Tabing serakah terhadap harta yang ia miliki.
Sedangkan Si Mata Empat diperankan oleh Yan Bastian terobsesi akan kesaktian Si Pahit Lidah. Hal ini didapati pada scene terakhir film tatkala menghisap liur Si Pahit Lidah yang mengandung racun. 

Wilayah Penguat Sinema

Dalam hal ini abaikan efek-efek teknis film buatan tahun 1989 ini. Mari mencermati scene-scene pengetahuan mengenai lokasi-lokasi di dalam film.
Air Terjun Pagaralam ketika Seruni bertapa memulihkan kondisi fisiknya akibat terluka dari pertarungan pertamanya dengan Si Mata Empat. Di sungai itu pula didapati seorang anak bernama Dirut, diperankan oleh Toma Gagah Satria tinggal di pondok panggung kayu dalam hutan.


Dirut merupakan anak dari Serunting. Dia tinggal dengan neneknya di pondok dalam hutan. Dirut memainkan salah satu alat musik tiup Ginggung (Aerofon) sejenis karinding Sunda, ketika mengingat pertemuan rahasia dengan ibunya tatkala ia memancing ikan. Dirut juga menggunakan bahasa khas dalam beberapa dialognya dengan sang nenek.

Dua ekor pelanduk (kijang) yang diberikan Serunting ke anaknya, Dirut, adalah wujud cinta kasih seorang ayah yang terkendala bertemu dengan anaknya setelah dia melakukan kesalahan fatal terhadap istrinya Putri, diperankan oleh Camelia Malik yang tersumpah jua menjadi batu.
Tetapi, cinta dan saling percaya lah yang membuat Putri dapat bertemu dengan anaknya sembari menjelaskan tentang dirinya dan suaminya, ayah Dirut. Pertemuan Dirut dengan ibunya setiap purnama pada tiap-tiap bulan menampilkan lokasi jembatan gantung, air terjun Pagaralam dan Gunung Jempol. 

Pada pertemuan terakhir Putri dengan anaknya, Dirut, dia meminta agar nenek menjaga Dirut dan menemani Dirut bertemu ayahnya pada laga terakhir Si Pahit Lidah versus Si Mata Empat di Danau Ranau. “Bersaksi gunung Semenung, becermin danau Ranau…” kalimat yang dilontarkan Serunting/Si Pahit Lidah tatkala berlaga terakhir dengan Si Mata Empat.
Pantai Matras pun tak luput dari latar film ini. Serunting memuji dengan ucapan, “Elok nian pantai Matras. seni agung maha Pencipta” dan menyaksikan tarian pantai penduduk, Tari Taber untuk tolak balak.
Dan sebagai penutup sinopsis dari film ini, Dirut, yang mana harus berpisah dengan ibunya juga harus kuat menerima suratan atas kematian ayahnya, Si Pahit Lidah dalam pertarungan tidak fair oleh Si Mata Empat.
“Dirut Dirut Dirut jangan nanges. Bapaka be jalan. Bejalan dek ken lame. Dirut tinggallah kudai. Dirut jangan nangis. Dirut jangan nangis…” sebagian lirik pada lagu penutup dalam album Batang Hari Sembilan yang sangat berkesan bagi sanubari penonton. Akhir memang tidak mesti happy ending, bukan?


Produktivitas dan Kreativitas Pelaku Budaya Sumsel

Mari mengambil sebuah kutipan dari alm. Rosihan Anwar dalam salah satu karya autobiografinya. Pada peringatan 30 tahun wafatnya Usmar Ismail- mengenai perfilman di bioskop-bioskop yang kini banyak telah gulung tikar. Saat itu PPFI menyelenggarakan kongres XV tanggal 16 Juli 2001 membahas ‘bagaimana mengatasi keterpurukan film nasional’. Dia menyebutkan beberapa sebab: “
a.      Produser tidak kuat modalnya mengingat film layar lebar kini meminta biaya sebesar satu miliar rupiah per produksi minimal dan adanya keragu-raguan apakah modal bisa balik dengan keadaan bioskop yang sudah hancur-hancuran.
b.      Produser sulit mendapat sumber daya manusia seperti sutradara, kameramen, dan karyawan teknis lainnya yang kini sudah numplek terikat kepada produksi sinetron yang relatif memberi jaminan hidup lebih bagus ketimbang produksi film layar lebar.
c.       Produser bingung atau kerap tidak tahu cerita jenis apa hendak disajikan kepada penonton.
d.      Produser bertanya apakah di Indonesia sekarang dapat dikerahkan penulis skenario layar lebar dalam jumlah cukup banyak, yang terampil dalam teknik penulisan skenario, yang pintar mencari topik cocok dengan hati dan selera penonton.
Pokoknya, segudang masalah dihadapi oleh produser. Siapa takut? Jawabnya, banyak yang takut.
            Begitulah permasalahan satu dekade lebih satu tahun lalu yang masih tidak bergeming dari tempat duduknya, di wilayah Sumsel khususnya. Mengapa demikian. Apakah kekurangan dana? Ternyata tidak.
            Pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2011 (LAK - KEMENPAREKRAF 2011). Sekjen Kemenparekraf, Bapak Wardiyatmo menyimpulkan pada kata pengantar di alenia ke-6 bahwa, capaian kinerja bidang pariwisata dan ekonomi kreatif selama tahun 2011 mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tumbuh 8,5%, dari 7 juta menjadi 7,6 juta pada tahun 2011 ini, sementara perolehan devisa US$ 7,6 miliar. Tingginya perolehan devisa pariwisata tahun ini seiring dengan meningkatnya pengeluaran wisman yang tahun lalu US$ 1.085,75 menjadi US$ 1.118,26/orang per kunjungan pada tahun ini. Sementara pengeluaran wisatawan nusantara (wisnus) pada triwulan keempat tahun ini sebesar Rp. 158,88 triliun, sedangkan pada tahun 2010 lalu mencapai 150,49 triliun rupiah. Capaian ini semakin menguatkan bahwa prospek pariwisata di tahun 2012, cerah. Pencapaian target kinerja kebudayaan dan pariwisata tahun 2011 merupakan momentum untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi situasi yang penuh tantangan di tahun 2012.
            Perbandingan indikator keberhasilan sasaran Meningkatnya kreativitas dan produktivitas para pelaku budaya antara realisasi dan target dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 adalah sebagai berikut:
Capaian kinerja di atas apabila diuraikan pertahun dalam periode 2010-2011, akan nampak bahwa terdapat beberapa indikator yang mengalami peningkatan realisasi capaiannya. 

Secara umum keberhasilan pencapaian indikator sasaran Meningkatnya kreativitas dan produktivitas menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, hal tersebut dapat diindikasikan dengan adanya kemajuan yang berarti dalam bidang industri dan karya budaya, dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator telah memberikan dukungan apresiasi yaitu dalam bentuk pemberian penghargaan terhadap budayawan, pemerhati budaya, individu dan kelompok peduli tradisi, insan seni dan insan film, maestro kebudayaan yang berprestasi. (Ibid: 172-173)
Begitulah laporan akuntabilitas kinerja nasional 2011 mengenai kreativitas dan produktivitas pelaku budaya. Tetapi, apakah peningkatan serta capaian tersebut berlaku untuk Sumsel? Jawabnya, tanya kenapa.




Sekeping Penting (sebuah kisah nyata)


Strategi Tason
Di ruang tamu dengan kursi jati motif kembang dua wanita paruh baya duduk berhadap-hadap sedikit merunduk “ Saya tak bisa berbuat banyak atas perkataan suami saya” terisak bu Rahmi di hadapan tuan rumah, bu Sartika tanpa canggung. “Mirda belum menikah juga, saya malu sama tetangga” aku nya.
“Sudahlah bu, “ Bu Sartika memegang sebentar lengan Bu Rahmi.
“Mirda pun sepertinya acuh atas statusnya yang belum juga menikah.” Menekur tapak tangan kananya seperti menyesal.
“Kalau sudah jodoh tak lari ke mana” ucap bu Sartika membesarkan hati. Mengapa tidak ku nikahkan saja anakku, Fitrah, pikir bu Sartika. Fitrah yang semenjak pulang dari Bangka semakin membuat repot saja tingkah lakunya. Suka memarahi adik-adiknya dengan tanpa alasan jelas.
“Berapa memangnya usia Mirda?” tanya bu Sartika
Bu Rahmi meluruskan posisi duduknya lalu bersandar lepas, “Dua puluh sembilan.”
Bu Mirda berpikir sejenak. Ada tanya yang menyamakan persepsi- bu Rahmi. Di mana juga mengenal bahwa bu Santika sosok popular di masyarakat lingkungan Jalan Letnan Muhidin pun mempunyai anak laki-laki dari sekian macam anak bujang bu Santika.
“Mengapa tidak ditasonkan[1] saja Mirda dengan Fitrah?” ide bu Sartika dengan mata yakin.
Harapan yang sama dengan harapku, pikir bu Rahmi dalam hati. “Bagaimana caranya?” tanggap bu Mirda cepat. Dia telah menyetujui dan berharap banyak, karena tawaran bu Sartika bukan sekedar tawar obralan tetapi juga menuju ke arah sebuah anugerah bagi keluarganya. Begitu pikir bu Rahmi, namun Mirda, anak gadisnya belum mengetahui strategi dua pihak ibu ini. Mirda, mudah, pikir bu Rahmi. Begitu juga pikiran bu Sartika mengenai Fitrah atas perjodohan ini. Mudah.

Bu Rahmi Berharap Mirda Suka
Jalan yang dilalui tadi semakin tidak mempengaruhi sakit pada kakinya. Bu Rahmi berbunga-bunga. Mirda akan segera menikah, begitu pikirannya. Tidak digubrisnya lagi kabut-kabut malu atas celoteh teman-teman pengajian Minggu pagi.
Pak Latif menyambut istrinya yang sumringah. Dia heran, begitu drastis perubahan terjadi pada raut wajah istrinya. Padahal tadi, ketika pergi tanpa pamit, marah dan kesal bahkan tetes air mata menyertainya. “Gerangan apakah?” ucap pak Latif dalam hati.
Wajah gembira istrinya telah melepaskan semua lelah mencari, dari sepanjang tengah hari istrinya tak kembali akibat pertengkaran pagi itu. Sehingga berucap kasar pak Latif, “Mengapa tidak ‘kamu’ saja menjadi tuhan dan mencarikan jodoh untuk Mirda!” kenang pak Latif atas ucapannya pagi lalu.
Wajah senang bu Rahmi semakin mendekat ke suaminya, “Mana Mirda?” tanyanya tergesa. Senang atas hasil obrolannya dengan bu Sartika telah melepaskan semua ucapan kasar bang Latif yang sangat jarang.

“Mengajar (ngaji)...” jawab Pak Latif, “darimana Mar[2]?” meneruskan keheranannya yang belum terjawab. Apa gerangan terjadi pada istri tercintanya ini.
Bu Rahmi mengambil duduk tepat di hadapan suaminya, “Dari rumah bu Sartika. Kami berbincang lama...” jawab bu Rahmi
Pak Latif menutup buku di pangkuannya. Dia merasakan hal ini masih berhubungan dengan kemarahan tadi pagi, Mirda. “Tentang Mirda?” tanya pak Latif meyakinkan prediksinya.
Buru-buru bu Rahmi duduk di hadapan suaminya. Masih dengan wajah ceria,”Bu Sartika berniat menikahkan anaknya ke Mirda” ujar bu Rahmi dengan mata binar senang. Pak Latif mengerenyit dahi. Bu Rahmi menganggap itu adalah pertanyaan.
“Sepanjang hari saya di rumah bu Sartika...” aku bu Rahmi. Memperkenalkan perubahan wajah baru yang berbeda dari beranjak marah dan pergi dari rumah tadi.
“Hmm...” pak Latif mengangguk-angguk. “Ya...”sahut pak Latif lemah, ”Seharusnya tidak lelah berputar menyetir mencarimu dalam panik hingga ke Plaju[3] sana, Mar...” ucap pak Latif datar.
“Maaf...” ucap bu Rahmi merunduk. Mengakui kesalahannya; telah membuat cemas suami.
Pak Latif memutar suasana, “Bu Sartika, pak Haji, kah?” tanyanya
Terlihat oleh pak Latif wajah tadi.
“Iya, bu Sartika...” tanggap bu Rahmi.
Pak Latif berusaha agar terlihat serius. Mengubah sandar menjadi tegak dan wajah penuh perhatian- tampak ingin mendengar cerita dari sang istri. Bu Rahmi semangat, kekesalan kecil pertengkaran telah hancur di masing-masing hati orangtua Mirda.
Pada saat yang sama Mirda mendapat kado berukuran besar dari mama Yogi, murid privat mengaji-nya. Sebuah Magic Jar putih motif kembang dengan pegangan biru muda teduh.
“Kita serahkan kepada Allah saja” tutup pak Latif menyemangati sang istri dengan suara datar. “Akan ada jalan untuk Mirda, Mar?” senyum pak Latif terhadap permainan Tuhan ke sekian kali tak disangka atas keberuntungan yang terlalu sering.
Azan Asar bergema, telepon berdering. Bu Rahmi beranjak dari hadapan pak Latif- menyambut telepon di ruang tengah. Habis asar-pukul empat kami ke sana, simpul percakapan telepon terdengar oleh pak Latif.

Mirda mengenang kekesalan terhadap Fitrah 
Membawa kotak berisi Magic Jar. Mirda masuk langsung menuju dapur. Sepi, Abah dan Emak pastinya sedang asar, pikir Mirda ke bangunan masjid Al-Fadhillah seberang rumahnya.
Perasaan senang bukan hanya dari magic yang diperolehnya. Hari ini , hatinya seperti terantuk sebuah ruang di mana pernah ia rasakan meski lupa kapan. Cahaya semakin terang pada setiap lalu mata kaki berjalan namun bayangan-bayangan kelam semakin jelas wujudnya.
“Braash...” kasur peer kamar tidur Mirda menerima penat seharian. Setelah ini pukul 5 mengisi TPQ, langit-langit kamar mengingatkan.
Suara derit terali pintu terbuka disertai ucapan salam. Mirda menjawab dari balik kamar depan tanpa menghampiri Emaknya, bu Rahmi. Dia terus meluruskan tulang punggungnya yang semakin dihamparkan semakin terasa penat dan nyaman.
“Sudah pulang...” sapa bu Rahmi nongol senyum menyibak tabir kamar.
Mirda bangun, “Sudah, Mak... Oh, iya, ada majik jer baru. Saya letakkan di meja makan. Coba emak lihat...” sambut Mirda dengan senyuman
Bu Mirda menanggapi dengan, O lemah, lalu masuk duduk di samping Mirda yang pada sisi ranjang. “Emak dan Abah mu mau melihat motor[4]. Ada tarikan[5]... Jaga rumah, ya...“ buka bu Rahmi.
“Oh, iya Mak...” jawab Mirda sedikit kaget atas emaknya yang langsung menghampiri. Biasanya cukup teriak dan bergegas. Aneh, tetapi Mirda senang dapat melihat wajah dengan alis tebal lebih dekat. Wanita yang masih menyisakan cantik pada usia setengah abad di hadapannya.
Satu lagi, “Coba tanyakan foto-foto acara lomba azan minggu lalu ke bu Sartika. Sudah selesai nampaknya...” pinta emak.
Seorang pria berkalung kamera, Fitrah namanya, lewat cukup lama dari emak mengatakan itu. Pria yang menyebalkan bila diingat sambutannya ketika Mirda pergi menenangkan diri di Bangka dengan bu Sartika.
“Oh, iya, akan saya tanyakan...” Mirda meng-iyakan.
“Siapa nama anak bu Sartika yang (me)moto acara itu? “ tanya bu Rahmi
“Fitrah, Mak. Dia barusan pulang dari Aceh. Menjadi sukarelawan pada bencana gempa dan tsunami,” jawab Mirda beranjak memperbaiki letak weker yang tidak apa-apa; berusaha biasa agar raut halus kesalnya terhadap Fitrah tidak nampak oleh emak.
“Dia yang kemarin mengajar di Bangka itu, kan?” tanya lagi
“Iya,” jawab Mirda datar
“Sudah menikah belum ia-nya?” emak lagi
“Belum. Kenapa, Mak?” Mirda mulai curiga atas laku dan tanya emak yang tidak biasa. Emak tertarik dengan Fitrah untukku. Menjodohkanku, simpul Mirda cepat.
“Ah tidak, nanya saja. Rupanya kamu cukup mengenal dia” emak menutup bicara. Bu Rahmi merasa beberapa langkah bahkan tujuan obrolannya telah selesai. Meninggalkan tanya di Mirda mengingat selama ini Mirda sering mendapat singgungan tentang kawin dari emak.
Sosok Fitrah semakin tampak. Obrolan dengan emak menyiratkan ketukan pada jantungnya sehingga berdegup sedikit cepat dari biasa.
“Jangan lupa ke rumah bu Sartika, ya...” emak berlalu meninggalkan dengan jawaban iya Mirda; ditinggalkan dalam rasa tak karuan namun jelas.
Bahkan, sosok Fitrah semakin tampak mendekat menjepret dengan kamera yang mana dirinya berdiri di depan bedug jati tanpa ditemani anak-anak peserta lomba azan, sendiri. Rasa apa ini, tarik nafas Mirda menyadarkan.
Kesan pertama bagi Fitrah, ke-sekian bagi Mirda
Mandi, Mirda bangun dari tempat tidurnya. Beberapa menit lalu klakson permisi. Handpone berbunyi, layar tampak ‘Ranti memanggil...’
Mirda : “Halo Ranti bagaimana kabar?”
Ranti : “Beginilah Mir...(murung)”
Mirda : “Begini bagaimana?”
Ranti : “Aku sudah seminggu di jawa, lari dari rumah ...”
Mirda : “Hah! (tertahan) Ada apa memangnya, Ran?”
Ranti  : “Tidak ada apa-apa. Minggat menemui Hasan, meminta dia menikahiku. Aku telah menulis surat ke orangtuaku kok.”
Mirda : “Jadi?” (meminta kisah lebih luas)
Ranti : “Hasan pun menikahiku. Pakai wali hakim. Sekarang aku sudah menikah dengan Hasan. Aku menjadi istri Hasan. Tetapi masalahnya, Hasan tidak bekerja jadi ku harus kembali ke Palembang untuk mencarikan kerja buat dia.”
Mirda : “Sebentar. Kamu telah menikah. Pake wali hakim. Bukan kah ayahmu masih ada. Apakah kamu sudah meminta izin kepadanya. Kamu kan perempuan, Ranti? Apakah boleh menikah begitu saja?” (mengerenyitkan dahi)
Ranti : “Iya sih. Tetapi dalam surat minggat yang ku tulis. ‘Agar izinkan ku untuk menikah dengan Hasan’. Ku rasa hal tersebut cukup jelas bagi ayah dan ibuku”
Mirda : “Tapi, kan...”
Ranti : “Sudahlah Mir. Kamu tolong cari info kerja buat tamatan SMP ya. Kerja apa sajalah.
Mirda : “O, iya. Nanti kalau ada kan ku kasitau ke kamu...”
Ranti : “Makasih Mir, Assalamualaikum”
Mirda : “Wa’alaikumsalam...”
Terawang mata lurus Mirda memandang sosok Ranti, teman dekatnya yang cukup mengerti hal berkenaan dengan syariat. Dia telah melakukan pelanggaran hukum agama, apa yang telah kamu perbuat, Ranti, geleng Mirda.
Menuju Kesan
Mandi memang menyegarkan, tukas Mirda dalam hati. Dirinya kembali utuh. Memandang cermin besar pada meja rias kamarnya sembari mengenakan pakaian panjang hijau muda. Kulit putihnya semakin menambah terang dirinya.
Sorak anak-anak bermain di pelataran masjid menyambut ketika Mirda membuka pintu depan.
Ketika keluar dari pagar, bu Laila menyapa,”Cantik benar Ustazah hari ini. Mau kemana?” sentuh lembut pada lengannya ketika menutup pagar rumah.
Mirda menoleh, “Oh, bu Laila. Mau ke komplek seberang. Ada urusan sedikit.”
“Ooo, gitu. Iyalah, hati-hati jeng ya. Komplek seberang banyak keranjang lho...” bisik bu Laila, mengedipkan mata tersenyum lalu berlalu.

Mirda tersenyum, berjalan ditemani riang petang. Bu Laila seumuran dengannya. Sering curhat. Sehingga Mirda tidak terlalu menanggapi omongan-omongan miring mengenai Laila yang menjadi istri simpanan anggota dewan di Jakarta. Terpenting tidak melanggar norma agama, tampik Mirda dalam hati melaju langkah di mana lalu-lalang wajah lelah selepas kerja muncul sering mengisi senja.

(bersambung...)



[1] Palembang : dipadukan
[2] Kebiasaan pak Latif memanggil nama istri (begitu juga bu Rahmi terhadap pak Latif) dengan panggilan nama anak tertua : Marganda. Kakak laki-laki tertua Mirda
[3] Nama kota di Palembang
[4] Sebutan untuk kapal kayu penarik tongkang
[5] Orderan;pesanan



Sketch sketsa

Setelah memerhatikan sketsa di Majalah National Geographic. Memberikan nuansa pensil yang memukau. Seni manual yang menawan. 

Teknik-teknik dalam membuat sketsa dapat dilihat di youtube dan melatih kelenturan tangan dengan bermodal pensil dan kertas saja (untuk sementara). . .
Berikut beberapa sket yang pernah di media kertas HVS A4, penghapus, dan pensil. Difoto dengan nokia kamera 3,2 mgp

1. Tadah

tangan  

2. Tetes
Tadah

3. Serunting Kleso Belago
yang pabila menggunakan program window 'paint', maka akan menghasilkan seperti ini

 serunting kleso blago

Sketsa memang mengasyikkan mengisi waktu senggang. Menulis mempunyai banyak cabang, dan salah satunya adalah mencoret.