Perfilman Peluang dan Kreativitas
Film sebagai
media komunikasi massa merupakan
sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman
Indonesia perlu dikembangkan
dan dilindungi. Begitulah terdapat pada huruf b menimbang
UU No. 33 tahun 2009.
Perfilman merupakan salah satu sektor ekonomi kreatif. Sektor yang menekankan
kepada pemahaman insan perfilman dalam berkreasi sehingga dapat
diteruskan wujud kreatifitasnya.
Dalam Bab III undang-undang yang sama Kegiatan
Perfilman dan Usaha Perfilman pada pasal 5, yaitu kegiatan perfilman dan usaha
perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan
budaya bangsa.
Bagaimana dengan Perfilman Sumsel
Terdapat 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dalam
Lampiran III Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025.
Pada nomor 34 dari daftar tertulis “KSPN. Palembang Kota dan sekitarnya (Sungai
Musi)”
Dan pada lampiran di UU No. 50 tahun 2011
di atas pada Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di lampiran IV No. Urut 15, yaitu Palembang
Babel dan sekitarnya yang mana meliputi Indikasi Program Pembangunan
Kepariwisataan Nasional : Bagian – A ; Indikasi Program Pembangunan Destinasi Pariwisata; Bagian – B: Indikasi Program Pembangunan
Pemasaran Pariwisata; Bagian – C : Indikasi
Program Pembangunan Industri Pariwisata; Bagian – D : Indikasi
Program Pembangunan Kelembagaan Pariwisata
Adalah penting diketahui sebagai peluang terbaru atau boleh jadi
terlupa bagi kita. Satu film Indonesia bercerita tentang Sumsel bahkan
menyentuh pantai Matras, Sungailiat Kab. Bangka Induk, Prov. Babel adalah film
“Sumpah Si Pahit Lidah”.
Film tahun 1989 dengan Produser Leonita Sutopo dan sutradara Dasri
Yacob dengan durasi 1.30.07 (satu jam setengah) merupakan bentuk kreasi di mana
masih tersimpan di dalam memori tiap-tiap orang wilayah Sumsel khususnya (di
masa kecilnya) pada bioskop tersedia di wilayahnya.
Dasri Yacob sendiri merupakan sutradara
film laga yang memang betul betul produktif di zamannya. Bayangkan saja untuk
tahun 1989 Dasri Yacob selain menyutradarai film Sumpah Si Pahit Lidah, dia juga menjadi
sutradara pada film Pendekar Tapak Sakti , Warisan Ilmu Karang , dan Seruling Naga Sakti, itu
untuk tahun 1989 saja. Sedangkan untuk tahun sebelumnya, dia telah menunjukkan prestasi
yang kredibel dengan menghasilkan 30 film dan 8 film pada tahun setelah itu,
tahun 1990. Termasuk Putri Kembang Dadar, Ilmu Cambuk Api, Suromenggolo, Bujangan Jelihin, dan Si Pandir.
Film yang terbit di tahun 1989 ini merupakan satu karya film dengan melibatkan anak-anak SD
sebagai penonton. Jumlah penduduk pada tahun 1980 - 1990 adalah 4.629.801- 6.313.074. Termasuklah
saya ikut dalam rombongan murid SD membawa karcis film di tangan guna menikmati
pemutaran film Sumpah Si Pahit Lidah di bioskop Surja Pangkalpinang.
Mengenai data pasti berapa jumlah penonton belum dipastikan berapa, namun dapat
diprediksikan sederhana dari: jumlah siswa yang menonton; bioskop yang
menyediakan tontonan waktu itu; serta mobilitas dari jadwal tayang film.
Sepertinya nonton bareng tersebut hanya berlaku
di wilayah Sumsel termasuk Daerah Tingkat II kotamadya Pangkalpinang, ibukota
Provinsi Bangka Belitung sekarang. Ketika ku tanya ke orang-orang tidak berada
pada wilayah Sumsel pada waktu itu, pada tahun 1989, mereka menjawab “tidak
tahu” mengenai penayangan nonton bareng film Sumpah Si Pahit Lidah.
Kalau sekarang tentu sangatlah mudah didapati di internet.
Sebagian
Amanat Serunting
Tersebut telah berlalu, menyisakan memori pada
masing-masing, betapa suasana hati pada waktu kecil dahulu menyisakan kenangan
tersendiri. Mengesankan tentunya!
Sinopsis film Si Pahit Lidah adalah
kisah seorang pemuda bernama Serunting/Si Pahit Lidah diperankan oleh Advent
Bangun yang mempunyai kesaktian dapat menyumpahi orang menjadi batu.
Ada dua kejadian menarik berkenaan dengan
menjadi batu-nya seseorang. Pertama, ketika Serunting melerai dua
orang laki-laki yang bertarung pasal utang piutang.
Lelaki yang berhutang tidak membayar utang dikarenakan
belum dapat membayar. Dan dia membela diri ketika diserang oleh Si pemberi
hutang. Lelaki yang berhutang tersebut kalah, pada saat lelaki berhutang
tersebut berada pada posisi tak berdaya hendak dibunuh oleh Si pemberi hutang,
ketika itu datanglah Serunting menyelamatkannya.
Serunting selain menyelamatkan lelaki yang
kalah juga memilah masalah penyebab perkelahian dua lelaki ini.
Lelaki yang berhutang berkata: “Dia
merampas harta milik saya. Kerbau saya diambil. Sekarang tanah saya juga.
Lelaki pemberi utang : ”Kamu punya utang.”
“Dia punya utang (menunjuk ke lelaki tersebut di hadapan Serunting)”
Lelaki berhutang : “Utang saya tidak
seberapa. Saya berjanji akan melunasinya”
Lelaki pemberi hutang :”Ah, kamu bicara
melulu (marah dengan parang terhunus. Serunting di antara mereka berdua)
Si Pahit Lidah :”Sabar, sabar (menenangkan
keduanya yang hendak. Lelaki pemberi hutang masih dengan parang terhunus)
Lalu Serunting bertanya ke lelaki yang
berhutang,” Apakah kamu merasa harta yang dirampas (lelaki pemberi hutang) itu
telah cukup untuk membayar seluruh hutang kamu?”
Lelaki berhutang: “Itu lebih dari sekedar
cukup”
Serunting kemudian bertanya ke lelaki
pemberi hutang, “Nah, kenapa kamu masih ingin merampas semua?”
Si pemberi hutang meneriakkan kalimat
“peduli setan” lalu menebaskan parangnya ke arah Serunting dan lelaki
berhutang. Serunting menangkis sigap lalu berusaha menjelaskan kepada si
pemberi hutang bahwa sesungguhnya dia juga mempunyai hutang, yaitu nafas yang
ia hirup; nafas yang membuat hidup. Itu adalah utang yang paling besar dari
yang Maha Kuasa dan harus dibayar dengan kebajikan tetapi ternyata (dibalas)
serakah begitu Serunting menjelaskan ke pemberi hutang.
Namun, kemarahan telah menyelimuti si pemberi
hutang, seluruh penjelasan Serunting ditampiknya bahkan terus menyerang dengan
parang terhunus. Lelaki itu menyerang Serunting dan itu bukan lawan sepadan
bagi Serunting Sakti (Si Pahit Lidah). Dengan mudah Serunting menjatuhkan si
pemberi hutang.
Sebelum menyumpahi si lelaki itu, Serunting
bergumam, “Kamu lebih mementingkan harta daripada kebaikan sesama manusia. Kamu berhak mendapat ganjaran
setimpal. Jadilah batu selamanya.”
Kedua, ketika Serunting mendapati dua kelompok pemuda bertarung pasal
batas desa masing-masing. Serunting juga berhasil melerai dan menyumpah provokator (penghasut) dalam sengketa tersebut
menjadi batu. Seorang pemuda memberitahukan Serunting bahwa Rie Tabing, murid
Si Mata Empat lah yang telah menghasut sehingga timbul perkelahian antar pemuda
dua desa. Sengketa antar dua desa inilah yang mengahantarkan pertemuan antara
Serunting dan Rie Tabing serta Si Mata Empat.
Rie Tabing diperankan oleh Arthur Tobing. Dia adalah murid Si Mata
Empat yang terobsesi membalaskan dendam ke Pahit Lidah karena istrinya
disumpahi menjadi batu. Namun, Si Mata Empat membela Serunting dengan argumennya bahwa, Si
Pahit Lidah disebabkan Rie Tabing serakah terhadap harta yang ia miliki.
Sedangkan Si Mata Empat diperankan oleh Yan Bastian terobsesi akan kesaktian
Si Pahit Lidah. Hal ini didapati pada scene terakhir film tatkala menghisap liur Si Pahit
Lidah yang mengandung racun.
Wilayah
Penguat Sinema
Dalam hal ini abaikan efek-efek teknis film
buatan tahun 1989 ini. Mari mencermati scene-scene pengetahuan mengenai
lokasi-lokasi di dalam film.
Air Terjun Pagaralam ketika Seruni bertapa memulihkan kondisi
fisiknya akibat terluka dari pertarungan pertamanya dengan Si Mata Empat. Di
sungai itu pula didapati seorang anak bernama Dirut, diperankan oleh Toma Gagah
Satria tinggal di pondok panggung kayu dalam hutan.
Dirut merupakan anak dari Serunting. Dia tinggal dengan neneknya di pondok dalam hutan.
Dirut memainkan salah satu alat musik tiup Ginggung (Aerofon) sejenis karinding
Sunda, ketika mengingat pertemuan rahasia dengan ibunya tatkala ia
memancing ikan. Dirut juga menggunakan bahasa khas dalam beberapa dialognya
dengan sang nenek.
Dua ekor pelanduk (kijang) yang diberikan
Serunting ke anaknya, Dirut, adalah wujud cinta kasih seorang ayah yang
terkendala bertemu dengan anaknya setelah dia melakukan kesalahan fatal
terhadap istrinya Putri, diperankan oleh Camelia Malik yang tersumpah jua
menjadi batu.
Tetapi, cinta dan saling percaya lah yang
membuat Putri dapat bertemu dengan anaknya sembari menjelaskan tentang dirinya
dan suaminya, ayah Dirut. Pertemuan Dirut dengan ibunya setiap purnama pada
tiap-tiap bulan menampilkan lokasi jembatan gantung, air terjun Pagaralam dan
Gunung Jempol.
Pada pertemuan terakhir Putri dengan
anaknya, Dirut, dia meminta agar nenek menjaga Dirut dan menemani Dirut bertemu
ayahnya pada laga terakhir Si Pahit Lidah versus Si Mata Empat di Danau Ranau.
“Bersaksi gunung Semenung, becermin danau Ranau…” kalimat yang dilontarkan
Serunting/Si Pahit Lidah tatkala berlaga terakhir dengan Si Mata Empat.
Pantai Matras pun tak luput dari latar film
ini. Serunting memuji dengan ucapan, “Elok nian pantai Matras. seni agung maha Pencipta” dan menyaksikan tarian pantai
penduduk, Tari Taber untuk tolak balak.
Dan sebagai penutup sinopsis dari film ini,
Dirut, yang mana harus berpisah dengan ibunya juga harus kuat menerima suratan
atas kematian ayahnya, Si Pahit Lidah dalam pertarungan tidak fair oleh
Si Mata Empat.
“Dirut… Dirut… Dirut…
jangan nanges. Bapaka be jalan. Bejalan dek ken lame. Dirut tinggallah kudai.
Dirut jangan nangis. Dirut jangan
nangis…” sebagian lirik pada lagu penutup dalam album
Batang Hari Sembilan yang sangat berkesan bagi sanubari penonton. Akhir memang
tidak mesti happy ending, bukan?
Produktivitas dan Kreativitas Pelaku Budaya Sumsel
Mari mengambil sebuah kutipan dari alm. Rosihan Anwar dalam salah
satu karya autobiografinya. Pada peringatan 30 tahun wafatnya Usmar Ismail-
mengenai perfilman di bioskop-bioskop yang kini banyak telah gulung tikar. Saat
itu PPFI menyelenggarakan kongres XV tanggal 16 Juli 2001 membahas ‘bagaimana
mengatasi keterpurukan film nasional’. Dia menyebutkan beberapa sebab: “
a.
Produser
tidak kuat modalnya mengingat film layar lebar kini meminta biaya sebesar satu
miliar rupiah per produksi minimal dan adanya keragu-raguan apakah modal bisa
balik dengan keadaan bioskop yang sudah hancur-hancuran.
b.
Produser
sulit mendapat sumber daya manusia seperti sutradara, kameramen, dan karyawan
teknis lainnya yang kini sudah numplek terikat kepada produksi sinetron
yang relatif memberi jaminan hidup lebih bagus ketimbang produksi film layar
lebar.
c.
Produser
bingung atau kerap tidak tahu cerita jenis apa hendak disajikan kepada
penonton.
d.
Produser
bertanya apakah di Indonesia sekarang dapat dikerahkan penulis skenario layar
lebar dalam jumlah cukup banyak, yang terampil dalam teknik penulisan skenario,
yang pintar mencari topik cocok dengan hati dan selera penonton.
Pokoknya,
segudang masalah dihadapi oleh produser. Siapa takut? Jawabnya, banyak yang
takut. “
Begitulah
permasalahan satu dekade lebih satu tahun lalu yang masih tidak bergeming dari
tempat duduknya, di wilayah Sumsel khususnya. Mengapa demikian. Apakah
kekurangan dana? Ternyata tidak.
Pada Laporan Akuntabilitas Kinerja
Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2011 (LAK - KEMENPAREKRAF 2011).
Sekjen Kemenparekraf, Bapak Wardiyatmo menyimpulkan pada kata pengantar di
alenia ke-6 bahwa, capaian kinerja bidang pariwisata dan ekonomi kreatif selama
tahun 2011 mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) tumbuh 8,5%, dari 7 juta menjadi 7,6 juta pada tahun 2011
ini, sementara perolehan devisa US$ 7,6 miliar. Tingginya perolehan devisa
pariwisata tahun ini seiring dengan meningkatnya pengeluaran wisman yang tahun
lalu US$ 1.085,75 menjadi US$ 1.118,26/orang per kunjungan pada tahun ini.
Sementara pengeluaran wisatawan nusantara (wisnus) pada triwulan keempat tahun
ini sebesar Rp. 158,88 triliun, sedangkan pada tahun 2010 lalu mencapai 150,49
triliun rupiah. Capaian ini semakin menguatkan bahwa prospek pariwisata di
tahun 2012, cerah. Pencapaian target kinerja kebudayaan dan pariwisata tahun
2011 merupakan momentum untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi situasi yang
penuh tantangan di tahun 2012.
Perbandingan indikator keberhasilan
sasaran Meningkatnya kreativitas dan produktivitas para pelaku budaya antara
realisasi dan target dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 adalah sebagai
berikut:
Capaian kinerja di atas apabila diuraikan pertahun dalam periode 2010-2011, akan nampak bahwa terdapat beberapa indikator yang mengalami peningkatan realisasi capaiannya.
Secara umum keberhasilan pencapaian indikator sasaran Meningkatnya
kreativitas dan produktivitas menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,
hal tersebut dapat diindikasikan dengan adanya kemajuan yang berarti dalam
bidang industri dan karya budaya, dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator
telah memberikan dukungan apresiasi yaitu dalam bentuk pemberian penghargaan
terhadap budayawan, pemerhati budaya, individu dan kelompok peduli tradisi,
insan seni dan insan film, maestro kebudayaan yang berprestasi. (Ibid: 172-173)
Begitulah laporan akuntabilitas kinerja nasional 2011 mengenai
kreativitas dan produktivitas pelaku budaya. Tetapi, apakah peningkatan
serta capaian tersebut berlaku untuk Sumsel? Jawabnya, tanya kenapa.